IMPLIKASI TEORI KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY DALAM
PELAKSANAAN MODEL PEMBELAJARAN
TEMATIK INTEGRATIF DI SD
As
Janah Verrawati (17712251063)
Pasca
Sarjana Universitas Negeri Yogyakarya
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan implikasi teori konstruktivisme Vygotsky dalam pelaksanaan
model pembelajaran tematik integratif di SD. Urgensi teori konstrukivisme pada
pembelajaran tematik integratif serta implikasi konstruktivisme dalam
pembelajara tematik integratif. Penelitian ini merupakan penelitian teoritik
dengan perolehan data melalui berbagai artikel dalam berbagai jurnal, buku, dan
media cetak lainnya yang berkaitan dengan teori Konstruktvisme Vygotsky dan
Model Pembelajaran Tematik Integratif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
implikasi teori konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran tematik
integratif sangat sesuai. Siswa akan lebih antusias jika pembelajaran lebih
berfokus pada siswa.
Kata kunci: Konstruktivisme Vygotsky,
Model Pembelajaran Tematik Integratif
IMPLICATION OF THE THEORY OF CONSTRUCTIVISM VYGOTSKY IN IMPLEMENTATION OF LEARNING MODELS
INTEGRATIVE TEMATIC
IN ELEMENTARY SCHOOL
The
purpose of this research is to describe the implications of Vygotsky's
constructivism theory in the implementation of integrative thematic learning
model in elementary school. The urgency of constructivism theory on integrative
thematic learning and the implications of constructivism in integrative
thematic learning. This research is a theoretical research with data reports
through various articles in various journals, books, and other print media
related to Vygotsky Constructivism Theory and Integrative Thematic Learning
Model. The results of this study indicate the implication of constructivism
theory in the implementation of integrative thematic learning is very
appropriate. Students will be more enthusiastic if learning easier on students.
Keywords: Vygotsky
Constructivism, Integrative Thematic Learning Model
PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia
yaitu menerdaskan anak bangsa. Perluasan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Menurut Hamalik (2010) : 79) menjelaskan bahwa pendidikan
merupakan proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu untuk
beradaptasi dengan situasi apapun di lingkungan sekitar sehingga menghasilkan
perubahan menjadi lebih baik agar dapat digunakan dan bermanfaat dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan karakter begitu penting bagi pembentukan
karakter yang kuat. Karakter yang kuat tidak akan terbentuk jika dalam proses
pembelajaran hanya memfokuskan pada kegiatan yang menekankan pada aspek
kognitif saja. Melihat nilai strategis pendidikan, pemerintah melalui
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) terus menerus melakukan berbagai
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan dengan tujuan agar generasi bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang cerdas sekaligus berkarakter. Salah satu upaya
pemerintah dalam melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan dalam sistem
pendidikan nasional di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan kurikulum.
Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan tujuan pendidikan dengan cara
memperbaiki sistem pendidikan dengan cara memberlakukan kurikulum 2013.
Model pembelajaran tematik integratif merupakan
perwujudan kurikulum 2013. Menurut (Drake, 2012:273),
thematic approach is one of the teaching strategy that uses themes toward
creating anactive, interest-ing, and meaningful learning. Pendekatan
tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang
menggunakan tema melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan
bermakna. Dikatakan bermakna karena peserta didik akan dapat memahami
konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar
konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik
akan didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan
afektif melalui kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual,
pengetahuan, sikap, dan psikomotor/keterampilan (Kemdikbud (2013): 4).
(Authentic & Sekolah, 2013) Pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013 adalah scientific. Pendekatan scientific ini lebih dikenal dengan
pendekatan ilmiah. Pendekatan scientific lebih
mengedepankan penalaran secara induktif daripada deduktif. Penalaran induktif
fenomena atau situasi spesifik kemudian menarik kesimpulan secara keseluruhan.
(Apriani, Wangid, & Yogyakarta, 2015) bahwa pembelajaran
tematik-integratif baik untuk dilaksanakan karena mampu
meningkatkan soft skill dan hard skill peserta didik
berdasar pada proses pembelajarannya yang aktif,
menarik, dan bermakna. Pendidikan karakter begitu penting bagi pembentukan karakter yang kuat.
Karakter yang kuat tidak akan terbentuk jika dalam proses pembelajaran hanya
memfokuskan pada kegiatan yang menekankan pada aspek kognitif saja. Hal ini
sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh (Saptono,2011:16) yang menyatakan
bahwa pendidikan karakter sangat penting, karakter lebih tinggi nilainya
daripada intelektualitas. Kehidupan kita bergantung pada karakter kita,
karakter membuat orang mampu bertahan, memiliki stamina berjuang, dan sanggup
mengatasi ketidak beruntungan secara bermakna.
Model
pembelajaran tematik intergratif menggunakan pendekatan scientific yang memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat
melakukan proses ilmiah yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan
mengkomunikasikan. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Vygotsky
yang lebih menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial),
kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia
(Schunk, 2012: 339). Teori belajar ini
berfokus pada peserta didik (student
Center). Guru berperan sebagai fasilitator . Berdasarkan beberapa hal
diatas, maka penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam mengenai mengenai
implikasi teori belajar konstruktivisme Vygotsky dalam model pembelajaran
tematik integratif.
PEMBAHASAN
Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori Vygotsky
lebih menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial),
kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia (Schunk,
2012: 339).
Pusat konsep dan
prinsip dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan oleh Ormrod (2012: 314) bahwa:
“Some cognitive processes are seen in a variety of
species; others are unique to human beings. Vygotsky distinguished between two
kinds of processes, or functions. Many species exhibit lower mental functions:
certain basic ways of learning and responding to the environment—discovering
what foods to eat, how best to get from one location to another, and so on. But
human beings are unique in their use of higher mental functions : deliberate,
focused cognitive processes that enhance learning, memory, and logical
reasoning. In Vygotsky’s view, the potential for acquiring lower mental
functions is biologically built in, but society and culture are critical for
the development of higher mental functions”
Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
menggunakan fungsi mental mereka untuk meningkatkan pembelajaran, ingatan dan
penalaran logis. Dalam pandangan Vygotsky, dasar fungsi mental manusia dibangun
secara biologis dan untuk mengembangkan fungsi mental tersebut, manusia
memutuhkan peranan masyarakat dan budaya.
Ormrod (2012)
menjelaskan lebih lanjut terkait konsep-konsep dalam teori konstruktivisme Lev
Vygotsky, menurut Ormrod, Vygotsky mengungkapkan beberapa gagasan penting dalam
teorinya yaitu:
a.
Interaksi
informal maupun formal antara orang dewasa dan anak akan memberi pemahaman bagi
anak tentang bagaimana anak berkembang.
b.
Setiap
budaya memiliki makna dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif anak,
kebermaknaan budaya bagi anak bertujuan untuk menuntun anak dalam menjalani
kehidupan secara produktif dan efisien.
c.
Kemampuan
berfikir dan berbahasa berkembang pada awal tahun perkembangan anak. Perkembangan
kognitif menurut Vygotsky sangat tergantung pada perkembangan dan penguasaan
bahasa.
d.
Berkembangnya
proses mental yang kompleks terjadi setelah anak melakukan aktifitas sosial,
dan secara bertahap akan terinternalisasi dalam kognitif anak yang dapat
dipergunakan secara bebas. Vygotsky mengemukakan bahwa proses berfikir yang
kompleks sangat tergantung pada interaksi sosial anak. Sebagaimana anak
mendiskusikan tentang peristiwa, objek dan masalah dengan orang dewasa dan
orang lain yang lebih berpengetahuan, maka secara bertahap hasil diskusi
tersebut akan menjadi bagian dalam struktur berpikir anak.
e. Anak akan mampu
mengerjakan tugas-tugas yang menantang jika diberi tugas yang lebih menantang
dari individu yang kompeten. Pemberian tugas yang menantang mendorong
berkembangnya kemampuan kognitif secara optimal.
Terkait konsep penting dalam teori
konstruktivisme Lev Vygotsky, selain Interaksi-interaksi sosial yang berperan
dalam membangun pengetahuan anak,
Schunk (2012) menfokuskan penjelasannya pada empat konsep utama teori
konstruktivisme Vygotsky yang terdiri dari Zone
of Proximal Development (ZPD), Scaffolding,
serta bahasa dan pemikiran.
a.
Zone of
Proximal Development (ZPD)
Satu konsep yang utama pada teori
konstruktivisme Lev Vygotsky adalah Zone
of Proximal Development (ZPD). Schunk (2012: 341) menjelaskan bahwa ZPD
merupakan jarak antara level potensi perkembangan yang ditentukan melalui
pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan
melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang lain atau dengan teman sebaya
yang lebih mampu. Sedangkan Woolfok (2009: 74) mengartikan ZPD sebagai sebuah perbedaan
tentang apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak dan apa yang perlu bantuan
dari orang lain ataupun dari orang dewasa. Interaksi dengan orang dewasa
ataupun dengan teman sebaya mampu memberi dorongan anak dalam proses
perkembangannya. Kedua
penjelasan tersebut sejalan dengan definisi ZPD yang diungkapkan oleh Vygotsky
(1986: 86) yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan ditentukan
oleh pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat potensi pembangunan yang
ditentukan melalui permasalahan pemecahan di bawah bimbingan orang dewasa atau
bekerja sama dengan rekan yang lebih cakap. Maka dapat disintesiskan bahwa Zone of proximal development adalah
jarak antara tingkat perkembangan sesung-guhnya yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan
potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Zone of Proximal Development merupakan istilah vygotsky untuk serangkaian tugas yang
sulit dikuasai anak secara mandiri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari
orang lain seperti dari guru atau teman yang lebih mampu. Jadi, batas bawah
dari ZPD adalah tingkat sebuah masalah yang mampu di pecahkan oleh anak secara
mandiri. Batas atas ZPD adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang
dapat diterima anak dengan bantuan dari seorang instruktur atau guru. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ormod (2012: 317) bahwa zone
of proximal development merupakan konsep wilayah yang menunjukan terjadinya
peluang kemampuan anak untuk memahami tugas-tugas sebagai wujud berkembangnya
ke-mampuan kognitif anak
Konsep ZPD dalam teori konstruktivisme Lev
Vygotsky dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Zone of Proximal Development (ZPD)
(Moll, 1990: 185)
Gambar 2.1 tentang empat tahap dalam zone of proximal development (ZPD)
dijelaskan oleh Gallimore dan Tharp (dalam Moll, 1990) sebagai berikut:
Tahap I : Tahap
pertama menunjukkan bagaimana peserta didik mengembangkan pemahaman tentang
bahasa yang sesuai dengan studi mereka dan dasar-dasar topik yang sedang
dipelajari dengan mengandalkan orang lain seperti instruktur untuk melakukan
suatu tugas.
Tahap II : Pada
tahap kedua, pembelajar menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk melaksanakan
tugas tanpa bimbingan apapun. ZPD terjadi antara tahap pertama dan kedua.
Peserta didik berlatih sendiri, yang menyiratkan bahwa mereka melakukan
aktivitas tertentu tanpa bantuan. Namun, mereka tidak pada tahap kemampuan
sempurna dan terkadang memerlukan beberapa bantuan.
Tahap III : Pada tahap ketiga kinerja dikembangkan.
Artinya pada tahap ini peserta didik mencapai tahap kemandirian. Pada tahap
ini, seorang siswa tidak memerlukan bantuan dari orang dewasa, atau berlatih
lebih banyak latihan untuk memperkuat pengetahuan yang sudah ada.
Tahap IV : Pada
tahap keempat, peserta didik melakukan de-automatisasi kinerja yang mengarah
pada proses pengulangan fungsi, setiap kali menerapkannya pada hasil tahap
sebelumnya melalui ZPD.
Pembelajaran seumur hidup oleh setiap
individu terdiri dari urutan ZPD yang diatur, dari bantuan lain untuk bantuan
mandiri yang berulang berulang kali
untuk pengembangan kapasitas baru (Moll, 1990). Interpretasi pendekatan
sosio-kultural Vygotsky pada perkembangan kognitif adalah bahwa seseorang harus
memahami dua prinsip utama karya Vygotsky: Pengetahuan yang Lebih
Berpengetahuan (MKO) dan ZPD. MKO mengacu pada seseorang yang memiliki
pemahaman yang lebih baik atau tingkat kemampuan yang lebih tinggi daripada
pelajar sehubungan dengan tugas, proses, atau konsep tertentu (Galloway, 2001).
ZPD menyiratkan bahwa pada tahap tertentu
dalam pengembangan, peserta didik dapat memecahkan berbagai masalah tertentu
hanya ketika mereka berinteraksi dengan guru dan bekerja sama dengan rekan
sejawat. Begitu aktivitas pemecahan masalah pelajar telah diinternalisasi,
masalah yang awalnya dipecahkan di bawah bimbingan dan kerja sama dengan orang
lain dapat ditangani secara independen. Vygotsky (1978: 87) menyoroti bahwa
"apa yang ada di ZPD hari ini akan menjadi tahap perkembangan aktual
besok, yaitu, apa yang dapat dilakukan pembelajar dengan bantuan hari ini, dia
atau dia akan dapat melakukannya sendiri besok".
Vygotsky percaya bahwa ketika seorang pelajar
berada di ZPD untuk tugas tertentu, memberikan bantuan yang tepat akan memberi
kemajuan pelajar untuk mencapai tugas tersebut (Galloway, 2001). Setelah
pelajar, dengan bantuan bantuan, tuankan tugas, bantuan kemudian dapat dihapus
dan pelajar kemudian dapat menyelesaikan tugasnya sendiri.
Wertsch (1985: 67) menyatakan bahwa ZPD
"adalah untuk menangani dua masalah praktis dalam situasi belajar:
penilaian kemampuan intelektual peserta didik dan evaluasi praktik
instruksional". Kegiatan pembelajaran menantang pemikiran peserta didik
dalam proses pembelajaran. Borchelt (2007: 2) selanjutnya menegaskan bahwa
"pembelajaran ditentukan oleh interaksi antara pengetahuan peserta didik,
konteks sosial yang mapan, dan masalah yang harus dipecahkan". Ini
mendukung gagasan Vygotsky (1978) bahwa pemikiran tingkat tinggi dikembangkan
terlebih dahulu dalam tindakan dan kemudian dipikirkan. Borchelt (2007: 2)
berpendapat bahwa "potensi pengembangan kognitif dioptimalkan dalam ZPD
atau area eksplorasi yang dipersiapkan secara kognitif, namun membutuhkan
bantuan melalui interaksi sosial".
Prosesnya dapat dipahami dalam perspektif
sosio-kultural dengan mengacu pada ZPD Vygotsky, yang menjelaskan bagaimana memajukan
proses belajar siswa. Pendekatan ini diperkuat oleh Wertsch (1985: 60-61) yang
menegaskan bahwa: Setiap fungsi dalam perkembangan budaya siswa muncul dua
kali, atau pada dua bidang. Pertama, ia muncul di pesawat sosial, dan kemudian
di bidang psikologis. Pertama, muncul di antara orang-orang sebagai kategori
antar-psikologis dan kemudian berada di dalam siswa sebagai kategori
intra-psikologis.
b.
Scaffolding.
Konsep lain dalam teori Konstruktivisme Lev
Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding
erat kaitannya dengan zone of proximal
development yaitu sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi
pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau siswa yang lebih mampu)
menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai.
Ketika tugas yang akan dipelajari murid merupakan tugas yang baru, maka orang
yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan
siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan. Vygotsky
menganggap bahwa anak mempunyau konsep yang kaya tetapi tidak sistematis, tidak
teratur, dan spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang sistematis dan logis
serta rasional yang dimiliki oleh orang yang lebih ahli yang membantunya.
c.
Bahasa dan
pemikiran
Perkembangan manusia terjadi melalui
alat-alat kultur (bahasa dan simbol-simbol) yang kemudian diteruskan dari satu
orang ke orang lain atau sering disebut dengan transmisi alat-alat kultur
(Schunk: 2012: 341). Bahasa adalah alat kultur yang paling penting. Bahasa di dapat
dari tuturan sosial, kemudian untuk disimpan dalam tuturan pribadi, dan
akhirnya menjadi tuturan tersembunyi (didalam).
Vygotsky mempercayai bahwa bahasa tidak hanya
untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku
mereka dengan caranya sendiri dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) (pembicaraan privat).
Menurut Piaget inner speech bersifat
egosentris dan tidak dewasa. Tetapi menurut teori Vygotsky inner speech adalah alat penting bagi pemikiran selama masa
kanak-kanak (early childhood).
Anak-anak berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa sebelum mereka
dapat fokus pada pemikirannya. Anak-anak menggunakan bahasa untuk komunikasi
dengan dunia luar selama periode agak lama sebelum transisi dari pembicaraan
eksternal ke pembicaraan internal (batin). Periode transisi terjadi antara usia
3 sampai 7 tahun dan terkadang anak dalam usia ini sering berbicara sendiri.
Setelah beberapa waktu kebiasaan berbicara sendiri dapat hilang dan mereka
melakukannya tanpa harus diucapkan. Ketika ini terjadi anak sudah memasukkan
pembicaraan egosentris menjadi inner
speech, dan pembicaraan batin ini kemudian akan menjadi pemikiran mereka.
Teori Vygotsky mengemukakan bahwa anak yang menggunakan inner speech merupakan proses awal menjadi komunikatif secara
sosial dan juga menegaskan bahwa seorang anak yang menggunakan inner speech akan lebih kompeten secara
sosial daripada anak yang tidak menggunakannya (Santrock. 2013: 63).
Teori
Vygotsky mengundang banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa
pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya
pengetahuan didistribusikan diantara orang dan lingkungan, yang mencakup objek,
alat, buku, dan komunitas dimana orang berada. Hal ini menunjukkan bahwa
memperoleh pengetahuan dapat dicapai dengan baik melalui interaksi dengan orang
lain dalam kegiatan bersama.
Implikasi Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori
konstruktivisme menekankan pada siswa sebagai pembelajar aktif, sehingga dalam penerapannya teori konstruktivisme sering
disebut sebagai strategi pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di ruang
kelas yang berpusat pada siswa, guru menjadi “pemandu di samping” dan bukan
“orang bijaksana di atas panggung”, dengan membantu siswa menemukan makna
mereka sendiri dan bukan mengendalikan semua kegiatan di ruang kelas
(Weinberger & Combs: 2001). Menurut Drake (2012: 273), thematic approach
is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive,
interest-ing, and meaningful learning. Hal ini sesuai dengan pendekatan
tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui
penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna
karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan
antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan
yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi
yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan
psikomotor/keterampilan.
Teori konstruktivisme menekankan pada siswa
sebagai pembelajar aktif, sehingga dalam penerapannya teori konstruktivisme
sering disebut sebagai strategi pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di ruang
kelas yang berpusat pada siswa, guru menjadi “pemandu di samping” dan bukan
“orang bijaksana di atas panggung”, dengan membantu siswa menemukan makna
mereka sendiri dan bukan mengendalikan semua kegiatan di ruang kelas
(Weinberger & Combs: 2001). Menurut Drake (2012: 273), thematic approach
is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive,
interest-ing, and meaningful learning. Hal ini sesuai dengan pendekatan
tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui
penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna
karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan
antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan
yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi
yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan
psikomotor/keterampilan.
Dalam
hal ini penerapan teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah memberdayakan teman
sebaya sebagai ahli. Maka salah satu penerapan strategi yang dapat dilakukan
adalah pembelajaran peer tutoring. Pembelajaran
Peer Tutoring (Tutor Sebaya)
merupakan salah satu bentuk penerapan teori konstruktivisme sosial terutama
pada pengaplikasian konsep ZPD. Dimana seorang murid mengajar murid lainnya
(Santrock, 2013). Peer Tutoring
merupakan kegiatan interaksi antar siswa yang memudahkan siswa untuk
mengeluarkan pendapat atau pikiran kepada temannya sendiri, hal ini
meminimalisir kelemahan siswa yang memiliki rasa malu/sungkan untuk bertanya
kepada guru. Dalam tutoring teman lintas
usia, teman yang mengajar biasanya usianya lebih tua sedangkan tutoring teman seusia, teman yang
mengajar biasanya teman sekelas. Tutoring
teman lintas usia biasanya lebih efektif dari pada tutoring teman seusia (Santrock, 2013).
Berikut
adalah strategi peer tutoring yang dapat dilakukan dalam
pembelajaran:
1.
Gunakan tutoring lintas usia jika memungkinkan
2.
Biarkan siswa berpartisipasi baik
sebagai pengajar maupun yang diajari. Ini akan membantu siswa belajar bahwa
mereka bisa membantu dan dibantu. Memasangkan kawan akrab biasanya bukan
strategi yang baik karena mereka akan kesulitan untuk fokus pada tugas yang
diberikan.
3.
Jangan ijinkan tutor memberikan tes
kepada yang diajari. Ini bisa melemahkan kerjasama diantara murid.
4.
Sisihkan waktu untuk melatih tutor.
Diskusikan tentang strategi peer tutoring
yang kompeten. Tunjukkan cara kerja scaffolding.
Beri penjelasan yang jelas dan teratur kepada tutor, dan persilahkan mereka
bertanya pada tugas mereka.
Dalam
teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan bahwa pengetahuan dibangun
melalui interaksi sosial, interaksi sosial dapat terjalin pada dua orang atau
lebih, sehingga selain kegiatan peer
tutoring yang dilakukan oleh dua siswa yang saling berinteraksi, belajar
dalam kelompok juga sangat memungkinkan untuk membantu siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana
pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam
kelompok belajar siswa dapat mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan
apa yang akan dilakukan terhadap persoalan tersebut. Inilah salah satu jalan
menciptakan refleksi yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan
dan dilakukan. Berdasarkan pendapat tersebut maka salah satu penerapan teori
Lev Vygotsky dalam proses pembelajaran yang menekankan adanya interaksi sosial
dapat berupa pembelajaran kooperatif. Pembelajaran akan lebih efektif dengan
melibatkan komunitas orang belajar. Melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat
berinteraksi dengan siswa lain untuk menemukan gagasan baru maupun memecahkan
suatu permasalahan. Ketika siswa telah mampu menemukan suatu gagasan maupun
telah berhasil memecahkan suatu masalah melalui interaksi dengan siswa lain
maka siswa tersebut dapat membangun pemahamannya sendiri terhadap gagasan yang
telah ia temukan maupun masalah yang telah ia hadapi.
Selain
adanya interaksi antar siswa dalam pembelajaran kooperatif, interaksi antara
guru dan siswa dalam proses pembelajaran juga mempengaruhi siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Guru sebagai pembelajar hendaknya mampu
membangun interaksi yang baik dengan siswa untuk menumbuhkan motivasi belajar
dan rasa ingin tahu sehingga siswa memiliki keinginan untuk membentuk suatu
pemahaman dan mampu memperbaiki pemahaman atas pengetahuan sebelumnya. Menurut
Suparno (1997: 65) peran guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah sebagai
mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan
baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas
sebagai berikut:
1. menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses dan penelitian
2. menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan
ide ilmiah mereka (Watts & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang
siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru
perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins & Gallard: 1994)
3. memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah peikiran siswa berjalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis
dan kesimpulan siswa.
Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013
yang menempatkan guru sebagai fasilitaor dalam pembelajaran dan peserta didik
sebagai pelaku belajar.
Menitik
pada pembelajaran konstruktivis yang berorientasi pada siswa dalam membangun
sendiri pengetahuannya, maka seorang guru harus melihat bahwa siswa bukanlah
lembaran kertas putih bersih atau sebuah bejana kosong. Hal ini berangkat dari
fakta bahwa siswa yang berada di tataran kelas yang paling rendahpun telah
hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku untuk menghadapi
lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa “pengetahuan awal”. Pengetahuan
yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena
itu, guru perlu mengerti taraf pengetahuan anak (Glasersfeld: 1989).
Apa
pun yang dikatakan seorang siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah jawaban
yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Maka dalam hal ini guru sebaiknya
tidak langsung menilai bahwa jawaban siswa salah, karena bagi siswa dinilai
salah merupakan suatu yang mengecewakan dan mengganggu sehingga dapat
menimbulkan efek negatif bagi siswa. Oleh karena itu, sebaiknya guru memberikan
jalan kepada siswa untuk menginterpretasikan pertanyaannya. Dengan demikian
maka dapat menuntun siswa untuk memahami kesalahannya sendiri dan dapat
menyusun jawaban-jawaban yang lebih tepat/baik (Glasersfeld: 1989). Contoh
dalam praktik pembelajaran, jika seorang siswa membuat kesalahan dalam menjawab
suatu persoalan, sebaiknya guru tidak langsung memberi tahu letak kesalahan
tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa semua bagian
tubuh manusia dialiri darah. Guru tidak perlu memberi pernyataan bahwa itu
salah. Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menguatkan dan
menuntun, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada
pengalaman siswa: “Apakah kalian pernah memotong rambut atau kuku kalian
sendiri?”. “Apakah ketika kalian memotong rambut, rambut kalian akan
berdarah?”. Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan mampu menemukan pemahamannya
sendiri. Dari contoh ini, kirannya jelas bahwa guru dapat membantu siswa dengan
pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar konstruksi pengetahuan siswa dapat
terbangun dengan optimal. Pernyataan yang disampaikan guru tersebut sebagai
penuntun siswa agar dapat menemukan letak kesalahan yang ia buat, hal ini
merupakan salah satu contoh scaffolding
(tuntunan/dukungan) dari guru pada siswa.
Guru
konstruktivis tidak akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim “ini
satu-satunya yang benar”. Pengajar/Guru yang menerapkan teori konstruktivisme
akan cenderung membiarkan siswa untuk menemukan cara yang paling menyenangkan
menurut masing-masing siswa dalam pemecahan persoalan (Suparno, 1997: 67).
Penerapan pembelajaran yang memberikan kebebasan untuk siswa menemukan strategi
belajarnya sendiri akan sangat menarik bila setiap kali siswa dihapakan oleh persoalan,
mereka akan menemukan jalan yang tidak
disangka atau diluar dugaan. Bila seorang guru tidak menghargai penemuan
mereka, maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut menyalahi sejarah
perkembangan sains yang juga dimulai dari kesalahan-kesalahan. Dalam sejarah
sains, penemuan teori-teori lama tidaklah salah dalam perkembangannya, tetapi
lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru.
Teori-teori lama tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapinnya pada
waktu menemukannya (Glasersfeld: 1989).
Pembelajaran
dari sudut pandang teori konstruktivisme Lev Vygotsky mengarah pada aktivitas
pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi antara
pembelajar dengan lingkungan belajarnya. Winkel (1996) menyatakan bahwa inti
dari pembelajaran konstruktivis adalah penataan lingkungan belajar. Lingkungan
belajar berarti tempat dimana si pembelajar dapat berinteraksi, bekerjasama dan
mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menggunakan
berbagai sarana dan sumber belajar. Dalam hal ini maka penerapan teori
konstruktivisme Lev Vygotsky dapat dilakukan dengan menciptakan suasana belajar
yang interaktif dengan memanfaatkan sarana dan sumber belajar.
Berdasarkan
uraian aplikasi teori konstruktivisme Lev Vygotsky di atas beberapa hal yang
perlu ditekankan dalam penerapannya yaitu: 1) pembelajaran harus dimulai dari
batas zona bahwah dalam ZPD; 2) penggunaan teknik scaffolding digunakan ketika siswa membutuhkan bantuan; 3)
memberdayakan teman sebaya sebagai ahli; 4) pembelajaran akan lebih efektif
dengan melibatkan komunitas orang belajar.
Kurikulum 2013 Model
Pembelajaran Tematik Integratif
Penggunaan
kurikulum bertujuan untuk menyamakan pengetahuan dan keterampilan umum yang harus dimiliki peserta didik.
Hal ini sejalan dengan Marsh (2009: 7) yang menyatakan:
“Curriculum is the totality of learning experiences
provided to students so that they can attain general skills and knowledge at a
variety oflearning sites”.
Artinya
bahwa kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang diberikan kepada peserta didik sehingga mereka dapat mencapai keterampilan umum dan pengetahuan di berbagai kegiatan pembelajaran.
Tujuan
pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pembentukan Pemerintah
Negara Republik Indonesia yaitu menerdaskan anak bangsa. Perluasan dari
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Hamalik (2010) : 79)
menjelaskan bahwa pendidikan merupakan proses dalam rangka mempengaruhi peserta
didik agar mampu untuk beradaptasi dengan situasi apapun di lingkungan sekitar
sehingga menghasilkan perubahan menjadi lebih baik agar dapat digunakan dan
bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kurikulum
2013 mempunyai tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia yang memiliki
kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif,
inovatif, dan efektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan peradaban dunia (Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013).
Sedangkan aspek utama pada Kurikulum 2013 yaitu Standar Kompetensi Lulusan
(SKL), Kompetensi inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), dan indikator yang berbasis
scientific approach dan authentic assessment. Kurikulum 2013 juga
memiliki beberapa karakteristik yang lebih menekankan pada pencapaian
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Menurut
Drake (2012: 273), thematic approach is one of the teaching strategy that
uses themes toward creating anactive, interest-ing, and meaningful learning.
Pendekatan tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema
melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan
bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata
yang meng-hubungkan antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan
didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui
kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan
psikomotor/keterampilan.
(Apriani et al., 2015) mengemukakan bahwa pembelajaran tematik-integratif baik untuk
dilaksanakan karena mampu meningkatkan soft skill dan hard skill peserta
didik berdasar pada proses pembelajarannya yang aktif, menarik, dan bermakna. (Wangid, Mustadi, Erviana, & Arifin, 2014), tematik integratif merupakan model pembelajaran terpadu yang
menggunakan pendekatan antar bidang studi. Model ini diparktikkan dengan
menggabungkan bidang studi dengan cara memberi prioritas pada kurikuler dan
menemukan keterampilan, konsep, dan sikap yang saling tumpang tindih di dalam
beberapa bidang studi.
Hal baru
yang muncul dari penerapan kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran tematik
integratif. Pembelajaran tematik integratif yaitu pembelajaran yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa materi pelajaran sehingga mampu memberikan
pengalaman yang bermakna bagi peserta didik (Authentic & Sekolah, 2013). Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan peserta
didik dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga
peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat
menemukan berbagai pengetahuan yang dipelajarinya (Suyanto, 2013:180).
Menurut
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum 2013 adalah
kurikulum yang mempunyai tujuan untuk mempersiapkan warga Indonesia yang
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif,
kreatif, inovatif, dan efektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Kurikulum 2013
memiliki beberapa karakteristik yang lebih menekankan pada pencapaian
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Implikasi Teori
Konstruktivisme Vygotsky dalam model Pembelajaran Tematik Instegratif
Prinsip pembelajaran pada
kurikulum 2013 adalah memadukan antara kempetensi kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap), dan keterampilan (psikomotor). Ketiga kompetensi memiliki
lintasan perolehan yang berbeda (M. Fadlillah, 2014:178). Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran Kurikulum 2013 yaitu
pendekatan scientific. Pendekatan scientific adalah pendekatan yang dilakukan dengan adanya proses ilmiah dalam
pembelajaran (M.
Fadlillah, 2014:175). Pendekatan scientific adalah
pembelajaran yang dilakukan melalui proses mengamati, menanya, mencoba,
menalar, dan mengkomunikasikan. Pada penerapan pendekatan scientific sebaiknya
guru memperhatikan beberapa prinsip dalam melaksanakan pembelajarannya. Sesuai
dengan permendikbud nomer 22 tahun 2016 yang mengungkapkan beberapa prinsip
dalam melaksanakan pembelajaran Kurikulum 2013 yaitu (1) berpusat pada peserta didik; (2) mengembangkan kreativitas peserta didik; (3)
menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai etika,
estetika, logika, dan kinestetik; (5) menyediakan pengalaman belajar yang
beragam melalui berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan,
kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.
Teori Vygotsky mendukung untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai agar
siswa memperoleh pengalaman langsung secara berkelompok. Selain itu Vygotsky
mengemukakan bahwa seorang anak usia SD sudah mulai dapat memecahkan masalah
secara berkelompok, sehingga sebaiknya guru menerapkan metode pembelajaran yang
mampu mendukung siswa untuk menemukan jawabannya sendiri melalui pengalaman
langsung dan dilakukan secara berkelompok.
Dalam
teori konstruktivisme Lev Vygotsky
dikemukakan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial, interaksi
sosial dapat terjalin pada dua orang atau lebih, sehingga selain kegiatan peer tutoring yang dilakukan oleh dua
siswa yang saling berinteraksi, belajar dalam kelompok juga sangat memungkinkan
untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Glasersfeld (1989)
menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok.
Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa dapat mengungkapkan bagaimana ia melihat
persoalan dan apa yang akan dilakukan terhadap persoalan tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendekatan pembelajaran tematik integratif yaitu scientific.
Langkah-langkah dalam mengimplementasikan pendekatan scientific yaitu:
1.
Mengamati. Dalam
kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas dan bervariasi kepada
siswa untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan menyimak, melihat,
mendengarkan, dan membaca.
2.
Menanya. Ketika
kegiatan menanya, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai
apa yang sudah dilihat, disimak, didengar, dibaca dan dilihat.
3.
Mengumpulkan dan
mengasosiasikan. Tindak lanjut dari menanya adalah mencari informasi-informasi
dari berbagai sumber yang dapat mendukung pembelajaran pada hari itu. Sumber
informasi dapat diperoleh darimana saja dan melalui apasaja.
4.
Mengkomunikasikan
hasil. Siswa melakukan kegiatan menuliskan apa yang mereka temukan dalam
kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan, dan menentukan pola. Kemudian
hasil yang mereka tuliskan akan dipresentasikan di hadapan guru dan
teman-temannya yang lain.
Metode berasal dari kata method yang artinya suatu cara
kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai tujuan (M. Fadlillah, 2014). metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan
untuk melakukan suatu kegiatan agar mencapai tujuan pembelajaran (Depdiknas,
2008:910). Bila dihubungkan dengan pembelajaran, metode dimaksudkan untuk
memudahkan penyampaian materi kepada siswa supaya tujuan pembelajaran dapat
tercapai sebagaimana yang diharapkan. Pada implementasi Kurikulum 2013, ada
beberapa metode yang dapat diterapkan dan digunakan dalam proses pembelajaran
yaitu (Amri,
Sofan, 2013:113):
1.
Metode ceramah
merupakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan penuturan secara lisan oleh
guru dalam menyampaikan materi kepada siswa.
2.
Metode diskusi
adalah cara menyampaikan materi pembelajaran dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyampaikan pendapat dan menyusun sebuah kesimpulan serta
menentukan alternatif pemecahan masalah.
3.
Metode tanya jawab
adalah cara menyampaikan materi pembelajaran melalui proses tanya jawab. Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeluarkan pertanyaan terkait dengan
materi pelajaran, kemudian meminta siswa lain untuk menjawab. Jika siswa mengalami
kesulitan guru bisa memberikan pancingan jawaban yang dapat memotivasi siswa.
4.
Metode eksperimen ialah cara penyampaian
materi pembelajaran dimana siswa diminta untuk mencoba, mengamati, dan
mengevaluasi kegiatan-kegiatan tertentu yang berhubungan dengan tema
pembelajaran.
5.
Metode problem
solving. Metode ini menyampaikan materi dengan cara memberikan suatu
permasalahan kepada siswa untuk dipecahkan atau dicari jalan keluarnya (M. Fadlillah, 2014:196).
Kesimpulan:
Pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang menggunakan
pendekatan scientific yang memberikan
kesempatan peserta didik untuk dapat melakukan proses ilmiah yaitu mengamati,
menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Hal ini sangat sesuai dengan
teori belajar konstruktivisme Vygotsky yaitu setiap individu dapat membangun
informasi ataupun pengetahuan secara mandiri melalui interaksi sosial dengan
orang lain atau dengan orang yang lebih mampu. Melalui adanya scaffolding/pemberian bantuan yang
semakin lama semakin dikurangi
Jika peserta
didik sudah mampu untuk melakukan suatu proses belajar secara mandiri maka
pemberian bantuan akan dilepas merupakan salah satu prinsip teori vygotsky yang
dapat di terapkan pada pembelajaran tematik integratif sebab peran guru disini
lebih dominan sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran
tematik integratif lebih menghendaki peserta didik untuk bertukar fikiran atau
diskusi dengan teman sebaya maupun orang yag lebih mampu untuk berkonsultasi,
hal ini sesuai dengan implikasi teori belajar konstruktivisme vygotsky yang
menghendaki pembelajaran yang menempatkan pembelajaran berorientasi pada student center.
References:
Apriani, A., Wangid, M. N., & Yogyakarta, U. N. (2015). THE EFFECT OF
THEMATIC-INTEGRATIVE SSP ON THE CHARACTERS OF DISCIPLINE, 3, 12–25.
Authentic, D. A. N., & Sekolah, A. (2013). The analysis of integrative
thematic content, scientific approach, and authentic assessment in elementary
school textbooks, 1–15.
Borchelt,
N. (2007). Cognitive Computer Tools In The Teaching And Learning Of
Undergraduate Calculus. International Journal For The Scholarship Of
Teaching And Learning, 1(2):1-17.
Drake, S.M. (2012). Creating
standards based integrated curriculum: the commom core state standards edition.
California. Corwin Press A sage Publication Company.
Galloway,
C. M. (2001). Vygotsky's Constructionism. In M Orey (Ed.). Emerging
Perspectives On Learning, Teaching, And Technology. Georgia: College of
Education University Of Georgia.
Glasersfeld,
E. V. (1989). Knowing without Metaphysics: Aspect of The Radical Constructivist
Position. Research and Reflexivity:
Toward a Cbernetic/Social Constructivist Way of Knowing. London: Sage
Hamalik, O. (2010). Proses
belajar mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Kemdikbud.
(2013). Peraturan Menteri pendidikan Nasional dan Kebudayaan RI No 67 Tahun
2013 tentang standar proses.
M. Fadlillah. (2014). Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran
SD/MI, SMP/MTs, &SMA/MA. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Moll, L. C. (1990). Vygotsky and Education (Rev.ed).
Cambridge: Cambridge University Press.
Ormrod, J. E. (2012). Human Learning. (6th ed.). United State of America:
Pearson Education, Inc.
Santrock,
J. W. (2013). Psikologi Pendidikan. (2nd
ed.). (Terjemahan Tri Wibowo).
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. (Edisi asli diterbitkan tahun 2004 oleh
McGraw Hill Company, Inc).
Saptono. (2011).
Dimensi-dimensi pendidikan karakter. Salatiga: Esensi.
Schunk,
D. H. (2012). Learning Theories. (Terjemahann Eva Hamdiah dan Rahmat
Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparno,
P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Tobin,
K., Tippins, D., & Gallard, A. (1994). Handbook
of Research on Science Teaching and Learning. (pp. 45-93). New York:
Macmillan Publishing Company
Vygotsky,
L. S. (1986). Though and Language. (Translate, revised
and edited by Alex Kozulin). London: The Massachusetts Institute of Technology.
(Edisi asli diterbitkan tahun 1934 oleh lembaga sosial dan ekonomi Moskow)
Wertsch,
J. V. (1985). Vygotsky And The Social Formation Of Mind. Cambridge, MA:
Harvard University Press
Watts
& Pope. (1989). Thinking about Thinking, Learning about Learning:
Constructivism in Physics Education. Physics
Education,24: 326-331.
Woolfolk.
A. (2009). Educational Psychologi Active
Learning Edition.(10nd ed.). (Terjemahan Helly Prajitno
Soetjipto & Sri Mulyantini Soetipto). Yogyakarta: Pustaka Belajar. (Edisi
asli diterbitkan tahun 2008 oleh Pearson Education, Inc. Arlington Streen,
Boston)
Wangid, M. N., Mustadi, A., Erviana, V. Y., & Arifin, S. (2014).
Kesiapan guru SD dalam pelaksanaan pembelajaran tematik-integratif pada
kurikulum 2013 di DIY. Jurnal Prima Edukasia, 2(2), 175–182.
https://doi.org/10.21831/jpe.v2i2.2717