RSS

Tematik integratif teori contructivism Lev Vygotsky



IMPLIKASI TEORI KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY DALAM
PELAKSANAAN MODEL PEMBELAJARAN
TEMATIK INTEGRATIF  DI SD

As Janah Verrawati (17712251063)
Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarya

          Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implikasi teori konstruktivisme Vygotsky dalam pelaksanaan model pembelajaran tematik integratif di SD. Urgensi teori konstrukivisme pada pembelajaran tematik integratif serta implikasi konstruktivisme dalam pembelajara tematik integratif. Penelitian ini merupakan penelitian teoritik dengan perolehan data melalui berbagai artikel dalam berbagai jurnal, buku, dan media cetak lainnya yang berkaitan dengan teori Konstruktvisme Vygotsky dan Model Pembelajaran Tematik Integratif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implikasi teori konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran tematik integratif sangat sesuai. Siswa akan lebih antusias jika pembelajaran lebih berfokus pada siswa.
Kata kunci: Konstruktivisme Vygotsky, Model Pembelajaran Tematik Integratif

IMPLICATION OF THE THEORY OF CONSTRUCTIVISM VYGOTSKY IN IMPLEMENTATION OF LEARNING MODELS INTEGRATIVE TEMATIC
 IN ELEMENTARY SCHOOL

The purpose of this research is to describe the implications of Vygotsky's constructivism theory in the implementation of integrative thematic learning model in elementary school. The urgency of constructivism theory on integrative thematic learning and the implications of constructivism in integrative thematic learning. This research is a theoretical research with data reports through various articles in various journals, books, and other print media related to Vygotsky Constructivism Theory and Integrative Thematic Learning Model. The results of this study indicate the implication of constructivism theory in the implementation of integrative thematic learning is very appropriate. Students will be more enthusiastic if learning easier on students.
Keywords: Vygotsky Constructivism, Integrative Thematic Learning Model

PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia yaitu menerdaskan anak bangsa. Perluasan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Hamalik (2010) : 79) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu untuk beradaptasi dengan situasi apapun di lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan menjadi lebih baik agar dapat digunakan dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan karakter begitu penting bagi pembentukan karakter yang kuat. Karakter yang kuat tidak akan terbentuk jika dalam proses pembelajaran hanya memfokuskan pada kegiatan yang menekankan pada aspek kognitif saja. Melihat nilai strategis pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) terus menerus melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan dengan tujuan agar generasi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas sekaligus berkarakter. Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan kurikulum.
Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan tujuan pendidikan dengan cara memperbaiki sistem pendidikan dengan cara memberlakukan kurikulum 2013.
Model pembelajaran tematik integratif merupakan perwujudan kurikulum 2013.  Menurut (Drake, 2012:273), thematic approach is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive, interest-ing, and meaningful learning. Pendekatan tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan psikomotor/keterampilan (Kemdikbud (2013): 4).
(Authentic & Sekolah, 2013) Pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013 adalah scientific. Pendekatan scientific ini lebih dikenal dengan pendekatan ilmiah. Pendekatan scientific lebih mengedepankan penalaran secara induktif daripada deduktif. Penalaran induktif fenomena atau situasi spesifik kemudian menarik kesimpulan secara keseluruhan.
(Apriani, Wangid, & Yogyakarta, 2015) bahwa pembelajaran tematik-integratif baik untuk dilaksanakan karena mampu meningkatkan soft skill dan hard skill peserta didik berdasar pada proses pembelajarannya yang aktif, menarik, dan bermakna. Pendidikan karakter begitu penting bagi pembentukan karakter yang kuat. Karakter yang kuat tidak akan terbentuk jika dalam proses pembelajaran hanya memfokuskan pada kegiatan yang menekankan pada aspek kognitif saja. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh (Saptono,2011:16) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter sangat penting, karakter lebih tinggi nilainya daripada intelektualitas. Kehidupan kita bergantung pada karakter kita, karakter membuat orang mampu bertahan, memiliki stamina berjuang, dan sanggup mengatasi ketidak beruntungan secara bermakna.
Model pembelajaran tematik intergratif menggunakan pendekatan scientific yang memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat melakukan proses ilmiah yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Vygotsky yang lebih menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia (Schunk, 2012: 339).  Teori belajar ini berfokus pada peserta didik (student Center). Guru berperan sebagai fasilitator . Berdasarkan beberapa hal diatas, maka penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam mengenai mengenai implikasi teori belajar konstruktivisme Vygotsky dalam model pembelajaran tematik integratif.

PEMBAHASAN
Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori Vygotsky lebih menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia (Schunk, 2012: 339).
Pusat konsep dan prinsip dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan oleh Ormrod  (2012: 314) bahwa:
“Some cognitive processes are seen in a variety of species; others are unique to human beings. Vygotsky distinguished between two kinds of processes, or functions. Many species exhibit lower mental functions: certain basic ways of learning and responding to the environment—discovering what foods to eat, how best to get from one location to another, and so on. But human beings are unique in their use of higher mental functions : deliberate, focused cognitive processes that enhance learning, memory, and logical reasoning. In Vygotsky’s view, the potential for acquiring lower mental functions is biologically built in, but society and culture are critical for the development of higher mental functions”

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan fungsi mental mereka untuk meningkatkan pembelajaran, ingatan dan penalaran logis. Dalam pandangan Vygotsky, dasar fungsi mental manusia dibangun secara biologis dan untuk mengembangkan fungsi mental tersebut, manusia memutuhkan peranan masyarakat dan budaya.
Ormrod (2012) menjelaskan lebih lanjut terkait konsep-konsep dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky, menurut Ormrod, Vygotsky mengungkapkan beberapa gagasan penting dalam teorinya yaitu:
a.    Interaksi informal maupun formal antara orang dewasa dan anak akan memberi pemahaman bagi anak tentang bagaimana anak berkembang.
b.    Setiap budaya memiliki makna dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif anak, kebermaknaan budaya bagi anak bertujuan untuk menuntun anak dalam menjalani kehidupan secara produktif dan efisien.
c.    Kemampuan berfikir dan berbahasa berkembang pada awal tahun perkembangan anak. Perkembangan kognitif menurut Vygotsky sangat tergantung pada perkembangan dan penguasaan bahasa.
d.   Berkembangnya proses mental yang kompleks terjadi setelah anak melakukan aktifitas sosial, dan secara bertahap akan terinternalisasi dalam kognitif anak yang dapat dipergunakan secara bebas. Vygotsky mengemukakan bahwa proses berfikir yang kompleks sangat tergantung pada interaksi sosial anak. Sebagaimana anak mendiskusikan tentang peristiwa, objek dan masalah dengan orang dewasa dan orang lain yang lebih berpengetahuan, maka secara bertahap hasil diskusi tersebut akan menjadi bagian dalam struktur berpikir anak.
e.    Anak akan mampu mengerjakan tugas-tugas yang menantang jika diberi tugas yang lebih menantang dari individu yang kompeten. Pemberian tugas yang menantang mendorong berkembangnya kemampuan kognitif secara optimal.
Terkait konsep penting dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky, selain Interaksi-interaksi sosial yang berperan dalam membangun pengetahuan anak, Schunk (2012) menfokuskan penjelasannya pada empat konsep utama teori konstruktivisme Vygotsky yang terdiri dari Zone of Proximal Development (ZPD), Scaffolding, serta bahasa dan pemikiran.
a.    Zone of Proximal Development (ZPD)
Satu konsep yang utama pada teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Schunk (2012: 341) menjelaskan bahwa ZPD merupakan jarak antara level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang lain atau dengan teman sebaya yang lebih mampu. Sedangkan Woolfok (2009: 74) mengartikan ZPD sebagai sebuah perbedaan tentang apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak dan apa yang perlu bantuan dari orang lain ataupun dari orang dewasa. Interaksi dengan orang dewasa ataupun dengan teman sebaya mampu memberi dorongan anak dalam proses perkembangannya. Kedua penjelasan tersebut sejalan dengan definisi ZPD yang diungkapkan oleh Vygotsky (1986: 86) yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan ditentukan oleh pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat potensi pembangunan yang ditentukan melalui permasalahan pemecahan di bawah bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan rekan yang lebih cakap. Maka dapat disintesiskan bahwa Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesung-guhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Zone of Proximal Development merupakan istilah vygotsky untuk serangkaian tugas yang sulit dikuasai anak secara mandiri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang lain seperti dari guru atau teman yang lebih mampu. Jadi, batas bawah dari ZPD adalah tingkat sebuah masalah yang mampu di pecahkan oleh anak secara mandiri. Batas atas ZPD adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan dari seorang instruktur atau guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Ormod (2012: 317) bahwa zone of proximal development merupakan konsep wilayah yang menunjukan terjadinya peluang kemampuan anak untuk memahami tugas-tugas sebagai wujud berkembangnya ke-mampuan kognitif anak
Konsep ZPD dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dapat digambarkan sebagai berikut:
Description: C:\Users\Irma\Downloads\First Download\11f01.jpg
Gambar 2.1 Zone of Proximal Development (ZPD)
(Moll, 1990: 185)
Gambar 2.1 tentang empat tahap dalam zone of proximal development (ZPD) dijelaskan oleh Gallimore dan Tharp (dalam Moll, 1990) sebagai berikut:
Tahap I    : Tahap pertama menunjukkan bagaimana peserta didik mengembangkan pemahaman tentang bahasa yang sesuai dengan studi mereka dan dasar-dasar topik yang sedang dipelajari dengan mengandalkan orang lain seperti instruktur untuk melakukan suatu tugas.
Tahap II   :  Pada tahap kedua, pembelajar menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk melaksanakan tugas tanpa bimbingan apapun. ZPD terjadi antara tahap pertama dan kedua. Peserta didik berlatih sendiri, yang menyiratkan bahwa mereka melakukan aktivitas tertentu tanpa bantuan. Namun, mereka tidak pada tahap kemampuan sempurna dan terkadang memerlukan beberapa bantuan.
Tahap III : Pada tahap ketiga kinerja dikembangkan. Artinya pada tahap ini peserta didik mencapai tahap kemandirian. Pada tahap ini, seorang siswa tidak memerlukan bantuan dari orang dewasa, atau berlatih lebih banyak latihan untuk memperkuat pengetahuan yang sudah ada.
Tahap IV :  Pada tahap keempat, peserta didik melakukan de-automatisasi kinerja yang mengarah pada proses pengulangan fungsi, setiap kali menerapkannya pada hasil tahap sebelumnya melalui ZPD.
Pembelajaran seumur hidup oleh setiap individu terdiri dari urutan ZPD yang diatur, dari bantuan lain untuk bantuan mandiri yang berulang berulang kali untuk pengembangan kapasitas baru (Moll, 1990). Interpretasi pendekatan sosio-kultural Vygotsky pada perkembangan kognitif adalah bahwa seseorang harus memahami dua prinsip utama karya Vygotsky: Pengetahuan yang Lebih Berpengetahuan (MKO) dan ZPD. MKO mengacu pada seseorang yang memiliki pemahaman yang lebih baik atau tingkat kemampuan yang lebih tinggi daripada pelajar sehubungan dengan tugas, proses, atau konsep tertentu (Galloway, 2001).
ZPD menyiratkan bahwa pada tahap tertentu dalam pengembangan, peserta didik dapat memecahkan berbagai masalah tertentu hanya ketika mereka berinteraksi dengan guru dan bekerja sama dengan rekan sejawat. Begitu aktivitas pemecahan masalah pelajar telah diinternalisasi, masalah yang awalnya dipecahkan di bawah bimbingan dan kerja sama dengan orang lain dapat ditangani secara independen. Vygotsky (1978: 87) menyoroti bahwa "apa yang ada di ZPD hari ini akan menjadi tahap perkembangan aktual besok, yaitu, apa yang dapat dilakukan pembelajar dengan bantuan hari ini, dia atau dia akan dapat melakukannya sendiri besok".
Vygotsky percaya bahwa ketika seorang pelajar berada di ZPD untuk tugas tertentu, memberikan bantuan yang tepat akan memberi kemajuan pelajar untuk mencapai tugas tersebut (Galloway, 2001). Setelah pelajar, dengan bantuan bantuan, tuankan tugas, bantuan kemudian dapat dihapus dan pelajar kemudian dapat menyelesaikan tugasnya sendiri.
Wertsch (1985: 67) menyatakan bahwa ZPD "adalah untuk menangani dua masalah praktis dalam situasi belajar: penilaian kemampuan intelektual peserta didik dan evaluasi praktik instruksional". Kegiatan pembelajaran menantang pemikiran peserta didik dalam proses pembelajaran. Borchelt (2007: 2) selanjutnya menegaskan bahwa "pembelajaran ditentukan oleh interaksi antara pengetahuan peserta didik, konteks sosial yang mapan, dan masalah yang harus dipecahkan". Ini mendukung gagasan Vygotsky (1978) bahwa pemikiran tingkat tinggi dikembangkan terlebih dahulu dalam tindakan dan kemudian dipikirkan. Borchelt (2007: 2) berpendapat bahwa "potensi pengembangan kognitif dioptimalkan dalam ZPD atau area eksplorasi yang dipersiapkan secara kognitif, namun membutuhkan bantuan melalui interaksi sosial".
Prosesnya dapat dipahami dalam perspektif sosio-kultural dengan mengacu pada ZPD Vygotsky, yang menjelaskan bagaimana memajukan proses belajar siswa. Pendekatan ini diperkuat oleh Wertsch (1985: 60-61) yang menegaskan bahwa: Setiap fungsi dalam perkembangan budaya siswa muncul dua kali, atau pada dua bidang. Pertama, ia muncul di pesawat sosial, dan kemudian di bidang psikologis. Pertama, muncul di antara orang-orang sebagai kategori antar-psikologis dan kemudian berada di dalam siswa sebagai kategori intra-psikologis.

b.    Scaffolding.
Konsep lain dalam teori Konstruktivisme Lev Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding erat kaitannya dengan zone of proximal development yaitu sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau siswa yang lebih mampu) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai. Ketika tugas yang akan dipelajari murid merupakan tugas yang baru, maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan. Vygotsky menganggap bahwa anak mempunyau konsep yang kaya tetapi tidak sistematis, tidak teratur, dan spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang sistematis dan logis serta rasional yang dimiliki oleh orang yang lebih ahli yang membantunya.
c.    Bahasa dan pemikiran
Perkembangan manusia terjadi melalui alat-alat kultur (bahasa dan simbol-simbol) yang kemudian diteruskan dari satu orang ke orang lain atau sering disebut dengan transmisi alat-alat kultur (Schunk: 2012: 341). Bahasa adalah alat kultur yang paling penting. Bahasa di dapat dari tuturan sosial, kemudian untuk disimpan dalam tuturan pribadi, dan akhirnya menjadi tuturan tersembunyi (didalam).
Vygotsky mempercayai bahwa bahasa tidak hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) (pembicaraan privat). Menurut Piaget inner speech bersifat egosentris dan tidak dewasa. Tetapi menurut teori Vygotsky inner speech adalah alat penting bagi pemikiran selama masa kanak-kanak (early childhood). Anak-anak berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa sebelum mereka dapat fokus pada pemikirannya. Anak-anak menggunakan bahasa untuk komunikasi dengan dunia luar selama periode agak lama sebelum transisi dari pembicaraan eksternal ke pembicaraan internal (batin). Periode transisi terjadi antara usia 3 sampai 7 tahun dan terkadang anak dalam usia ini sering berbicara sendiri. Setelah beberapa waktu kebiasaan berbicara sendiri dapat hilang dan mereka melakukannya tanpa harus diucapkan. Ketika ini terjadi anak sudah memasukkan pembicaraan egosentris menjadi inner speech, dan pembicaraan batin ini kemudian akan menjadi pemikiran mereka. Teori Vygotsky mengemukakan bahwa anak yang menggunakan inner speech merupakan proses awal menjadi komunikatif secara sosial dan juga menegaskan bahwa seorang anak yang menggunakan inner speech akan lebih kompeten secara sosial daripada anak yang tidak menggunakannya (Santrock. 2013: 63).
Teori Vygotsky mengundang banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya pengetahuan didistribusikan diantara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, alat, buku, dan komunitas dimana orang berada. Hal ini menunjukkan bahwa memperoleh pengetahuan dapat dicapai dengan baik melalui interaksi dengan orang lain dalam kegiatan bersama.

Implikasi Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori konstruktivisme menekankan pada siswa sebagai pembelajar aktif, sehingga dalam penerapannya teori konstruktivisme sering disebut sebagai strategi pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di ruang kelas yang berpusat pada siswa, guru menjadi “pemandu di samping” dan bukan “orang bijaksana di atas panggung”, dengan membantu siswa menemukan makna mereka sendiri dan bukan mengendalikan semua kegiatan di ruang kelas (Weinberger & Combs: 2001). Menurut Drake (2012: 273), thematic approach is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive, interest-ing, and meaningful learning. Hal ini sesuai dengan pendekatan tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan psikomotor/keterampilan.
Teori konstruktivisme menekankan pada siswa sebagai pembelajar aktif, sehingga dalam penerapannya teori konstruktivisme sering disebut sebagai strategi pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di ruang kelas yang berpusat pada siswa, guru menjadi “pemandu di samping” dan bukan “orang bijaksana di atas panggung”, dengan membantu siswa menemukan makna mereka sendiri dan bukan mengendalikan semua kegiatan di ruang kelas (Weinberger & Combs: 2001). Menurut Drake (2012: 273), thematic approach is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive, interest-ing, and meaningful learning. Hal ini sesuai dengan pendekatan tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan psikomotor/keterampilan.
Dalam hal ini penerapan teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah memberdayakan teman sebaya sebagai ahli. Maka salah satu penerapan strategi yang dapat dilakukan adalah pembelajaran peer tutoring. Pembelajaran Peer Tutoring (Tutor Sebaya) merupakan salah satu bentuk penerapan teori konstruktivisme sosial terutama pada pengaplikasian konsep ZPD. Dimana seorang murid mengajar murid lainnya (Santrock, 2013). Peer Tutoring merupakan kegiatan interaksi antar siswa yang memudahkan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau pikiran kepada temannya sendiri, hal ini meminimalisir kelemahan siswa yang memiliki rasa malu/sungkan untuk bertanya kepada guru. Dalam tutoring teman lintas usia, teman yang mengajar biasanya usianya lebih tua sedangkan tutoring teman seusia, teman yang mengajar biasanya teman sekelas. Tutoring teman lintas usia biasanya lebih efektif dari pada tutoring teman seusia (Santrock, 2013).
Berikut adalah strategi peer tutoring yang dapat dilakukan dalam pembelajaran:
1.    Gunakan tutoring lintas usia jika memungkinkan
2.    Biarkan siswa berpartisipasi baik sebagai pengajar maupun yang diajari. Ini akan membantu siswa belajar bahwa mereka bisa membantu dan dibantu. Memasangkan kawan akrab biasanya bukan strategi yang baik karena mereka akan kesulitan untuk fokus pada tugas yang diberikan.
3.    Jangan ijinkan tutor memberikan tes kepada yang diajari. Ini bisa melemahkan kerjasama diantara murid.
4.    Sisihkan waktu untuk melatih tutor. Diskusikan tentang strategi peer tutoring yang kompeten. Tunjukkan cara kerja scaffolding. Beri penjelasan yang jelas dan teratur kepada tutor, dan persilahkan mereka bertanya pada tugas mereka.
Dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial, interaksi sosial dapat terjalin pada dua orang atau lebih, sehingga selain kegiatan peer tutoring yang dilakukan oleh dua siswa yang saling berinteraksi, belajar dalam kelompok juga sangat memungkinkan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa dapat mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dilakukan terhadap persoalan tersebut. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan. Berdasarkan pendapat tersebut maka salah satu penerapan teori Lev Vygotsky dalam proses pembelajaran yang menekankan adanya interaksi sosial dapat berupa pembelajaran kooperatif. Pembelajaran akan lebih efektif dengan melibatkan komunitas orang belajar. Melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat berinteraksi dengan siswa lain untuk menemukan gagasan baru maupun memecahkan suatu permasalahan. Ketika siswa telah mampu menemukan suatu gagasan maupun telah berhasil memecahkan suatu masalah melalui interaksi dengan siswa lain maka siswa tersebut dapat membangun pemahamannya sendiri terhadap gagasan yang telah ia temukan maupun masalah yang telah ia hadapi.
Selain adanya interaksi antar siswa dalam pembelajaran kooperatif, interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran juga mempengaruhi siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Guru sebagai pembelajar hendaknya mampu membangun interaksi yang baik dengan siswa untuk menumbuhkan motivasi belajar dan rasa ingin tahu sehingga siswa memiliki keinginan untuk membentuk suatu pemahaman dan mampu memperbaiki pemahaman atas pengetahuan sebelumnya. Menurut Suparno (1997: 65) peran guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
1.    menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian
2.    menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watts & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins & Gallard: 1994)
3.    memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah peikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
            Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang menempatkan guru sebagai fasilitaor dalam pembelajaran dan peserta didik sebagai pelaku belajar.
Menitik pada pembelajaran konstruktivis yang berorientasi pada siswa dalam membangun sendiri pengetahuannya, maka seorang guru harus melihat bahwa siswa bukanlah lembaran kertas putih bersih atau sebuah bejana kosong. Hal ini berangkat dari fakta bahwa siswa yang berada di tataran kelas yang paling rendahpun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku untuk menghadapi lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa “pengetahuan awal”. Pengetahuan yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti taraf pengetahuan anak (Glasersfeld: 1989).
Apa pun yang dikatakan seorang siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Maka dalam hal ini guru sebaiknya tidak langsung menilai bahwa jawaban siswa salah, karena bagi siswa dinilai salah merupakan suatu yang mengecewakan dan mengganggu sehingga dapat menimbulkan efek negatif bagi siswa. Oleh karena itu, sebaiknya guru memberikan jalan kepada siswa untuk menginterpretasikan pertanyaannya. Dengan demikian maka dapat menuntun siswa untuk memahami kesalahannya sendiri dan dapat menyusun jawaban-jawaban yang lebih tepat/baik (Glasersfeld: 1989). Contoh dalam praktik pembelajaran, jika seorang siswa membuat kesalahan dalam menjawab suatu persoalan, sebaiknya guru tidak langsung memberi tahu letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa semua bagian tubuh manusia dialiri darah. Guru tidak perlu memberi pernyataan bahwa itu salah. Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menguatkan dan menuntun, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman siswa: “Apakah kalian pernah memotong rambut atau kuku kalian sendiri?”. “Apakah ketika kalian memotong rambut, rambut kalian akan berdarah?”. Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan mampu menemukan pemahamannya sendiri. Dari contoh ini, kirannya jelas bahwa guru dapat membantu siswa dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar konstruksi pengetahuan siswa dapat terbangun dengan optimal. Pernyataan yang disampaikan guru tersebut sebagai penuntun siswa agar dapat menemukan letak kesalahan yang ia buat, hal ini merupakan salah satu contoh scaffolding (tuntunan/dukungan) dari guru pada siswa.
Guru konstruktivis tidak akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim “ini satu-satunya yang benar”. Pengajar/Guru yang menerapkan teori konstruktivisme akan cenderung membiarkan siswa untuk menemukan cara yang paling menyenangkan menurut masing-masing siswa dalam pemecahan persoalan (Suparno, 1997: 67). Penerapan pembelajaran yang memberikan kebebasan untuk siswa menemukan strategi belajarnya sendiri akan sangat menarik bila setiap kali siswa dihapakan oleh persoalan, mereka akan  menemukan jalan yang tidak disangka atau diluar dugaan. Bila seorang guru tidak menghargai penemuan mereka, maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut menyalahi sejarah perkembangan sains yang juga dimulai dari kesalahan-kesalahan. Dalam sejarah sains, penemuan teori-teori lama tidaklah salah dalam perkembangannya, tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru. Teori-teori lama tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapinnya pada waktu menemukannya (Glasersfeld: 1989).
Pembelajaran dari sudut pandang teori konstruktivisme Lev Vygotsky mengarah pada aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi antara pembelajar dengan lingkungan belajarnya. Winkel (1996) menyatakan bahwa inti dari pembelajaran konstruktivis adalah penataan lingkungan belajar. Lingkungan belajar berarti tempat dimana si pembelajar dapat berinteraksi, bekerjasama dan mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menggunakan berbagai sarana dan sumber belajar. Dalam hal ini maka penerapan teori konstruktivisme Lev Vygotsky dapat dilakukan dengan menciptakan suasana belajar yang interaktif dengan memanfaatkan sarana dan sumber belajar.
Berdasarkan uraian aplikasi teori konstruktivisme Lev Vygotsky di atas beberapa hal yang perlu ditekankan dalam penerapannya yaitu: 1) pembelajaran harus dimulai dari batas zona bahwah dalam ZPD; 2) penggunaan teknik scaffolding digunakan ketika siswa membutuhkan bantuan; 3) memberdayakan teman sebaya sebagai ahli; 4) pembelajaran akan lebih efektif dengan melibatkan komunitas orang belajar.

Kurikulum 2013 Model Pembelajaran Tematik Integratif
Penggunaan kurikulum bertujuan untuk menyamakan pengetahuan dan keterampilan umum yang harus dimiliki peserta didik. Hal ini sejalan dengan Marsh (2009: 7) yang menyatakan:
Curriculum is the totality of learning experiences provided to students so that they can attain general skills and knowledge at a variety oflearning sites”.
Artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang diberikan kepada peserta didik sehingga mereka dapat mencapai keterampilan umum dan pengetahuan di berbagai kegiatan pembelajaran.
Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia yaitu menerdaskan anak bangsa. Perluasan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Hamalik (2010) : 79) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu untuk beradaptasi dengan situasi apapun di lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan menjadi lebih baik agar dapat digunakan dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kurikulum 2013 mempunyai tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan efektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia (Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013). Sedangkan aspek utama pada Kurikulum 2013 yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), dan indikator yang berbasis scientific approach dan authentic assessment. Kurikulum 2013 juga memiliki beberapa karakteristik yang lebih menekankan pada pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Menurut Drake (2012: 273), thematic approach is one of the teaching strategy that uses themes toward creating anactive, interest-ing, and meaningful learning. Pendekatan tematik merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung dan nyata yang meng-hubungkan antar konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan psikomotor/keterampilan.
(Apriani et al., 2015) mengemukakan bahwa pembelajaran tematik-integratif baik untuk dilaksanakan karena mampu meningkatkan soft skill dan hard skill peserta didik berdasar pada proses pembelajarannya yang aktif, menarik, dan bermakna. (Wangid, Mustadi, Erviana, & Arifin, 2014), tematik integratif merupakan model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan antar bidang studi. Model ini diparktikkan dengan menggabungkan bidang studi dengan cara memberi prioritas pada kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep, dan sikap yang saling tumpang tindih di dalam beberapa bidang studi.
Hal baru yang muncul dari penerapan kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran tematik integratif. Pembelajaran tematik integratif yaitu pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa materi pelajaran sehingga mampu memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik (Authentic & Sekolah, 2013). Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan berbagai pengetahuan yang dipelajarinya (Suyanto, 2013:180).
Menurut beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum 2013 adalah kurikulum yang mempunyai tujuan untuk mempersiapkan warga Indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan efektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Kurikulum 2013 memiliki beberapa karakteristik yang lebih menekankan pada pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Implikasi Teori Konstruktivisme Vygotsky dalam model Pembelajaran Tematik Instegratif
            Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah memadukan antara kempetensi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan keterampilan (psikomotor). Ketiga kompetensi memiliki lintasan perolehan yang berbeda (M. Fadlillah, 2014:178). Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran Kurikulum 2013 yaitu pendekatan scientific. Pendekatan scientific adalah pendekatan yang dilakukan dengan adanya proses ilmiah dalam pembelajaran (M. Fadlillah, 2014:175). Pendekatan scientific adalah pembelajaran yang dilakukan melalui proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Pada penerapan pendekatan scientific sebaiknya guru memperhatikan beberapa prinsip dalam melaksanakan pembelajarannya. Sesuai dengan permendikbud nomer 22 tahun 2016 yang mengungkapkan beberapa prinsip dalam melaksanakan pembelajaran Kurikulum 2013 yaitu (1) berpusat pada peserta didik; (2) mengembangkan kreativitas peserta didik; (3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai etika, estetika, logika, dan kinestetik; (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.
Teori Vygotsky mendukung untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai agar siswa memperoleh pengalaman langsung secara berkelompok. Selain itu Vygotsky mengemukakan bahwa seorang anak usia SD sudah mulai dapat memecahkan masalah secara berkelompok, sehingga sebaiknya guru menerapkan metode pembelajaran yang mampu mendukung siswa untuk menemukan jawabannya sendiri melalui pengalaman langsung dan dilakukan secara berkelompok.
Dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial, interaksi sosial dapat terjalin pada dua orang atau lebih, sehingga selain kegiatan peer tutoring yang dilakukan oleh dua siswa yang saling berinteraksi, belajar dalam kelompok juga sangat memungkinkan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa dapat mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dilakukan terhadap persoalan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendekatan pembelajaran tematik integratif yaitu scientific.
Langkah-langkah dalam mengimplementasikan pendekatan scientific yaitu:
1.    Mengamati. Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas dan bervariasi kepada siswa untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan menyimak, melihat, mendengarkan, dan membaca.
2.    Menanya. Ketika kegiatan menanya, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, didengar, dibaca dan dilihat.
3.    Mengumpulkan dan mengasosiasikan. Tindak lanjut dari menanya adalah mencari informasi-informasi dari berbagai sumber yang dapat mendukung pembelajaran pada hari itu. Sumber informasi dapat diperoleh darimana saja dan melalui apasaja.
4.    Mengkomunikasikan hasil. Siswa melakukan kegiatan menuliskan apa yang mereka temukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan, dan menentukan pola. Kemudian hasil yang mereka tuliskan akan dipresentasikan di hadapan guru dan teman-temannya yang lain.
Metode berasal dari kata method yang artinya suatu cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai tujuan (M. Fadlillah, 2014). metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melakukan suatu kegiatan agar mencapai tujuan pembelajaran (Depdiknas, 2008:910). Bila dihubungkan dengan pembelajaran, metode dimaksudkan untuk memudahkan penyampaian materi kepada siswa supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan. Pada implementasi Kurikulum 2013, ada beberapa metode yang dapat diterapkan dan digunakan dalam proses pembelajaran yaitu (Amri, Sofan, 2013:113):
1.    Metode ceramah merupakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan penuturan secara lisan oleh guru dalam menyampaikan materi kepada siswa.
2.    Metode diskusi adalah cara menyampaikan materi pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat dan menyusun sebuah kesimpulan serta menentukan alternatif pemecahan masalah.
3.    Metode tanya jawab adalah cara menyampaikan materi pembelajaran melalui proses tanya jawab. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeluarkan pertanyaan terkait dengan materi pelajaran, kemudian meminta siswa lain untuk menjawab. Jika siswa mengalami kesulitan guru bisa memberikan pancingan jawaban yang dapat memotivasi siswa.
4.     Metode eksperimen ialah cara penyampaian materi pembelajaran dimana siswa diminta untuk mencoba, mengamati, dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan tertentu yang berhubungan dengan tema pembelajaran.
5.    Metode problem solving. Metode ini menyampaikan materi dengan cara memberikan suatu permasalahan kepada siswa untuk dipecahkan atau dicari jalan keluarnya (M. Fadlillah, 2014:196).
Kesimpulan:
Pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan scientific yang memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat melakukan proses ilmiah yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Hal ini sangat sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Vygotsky yaitu setiap individu dapat membangun informasi ataupun pengetahuan secara mandiri melalui interaksi sosial dengan orang lain atau dengan orang yang lebih mampu. Melalui adanya scaffolding/pemberian bantuan yang semakin lama semakin dikurangi
Jika peserta didik sudah mampu untuk melakukan suatu proses belajar secara mandiri maka pemberian bantuan akan dilepas merupakan salah satu prinsip teori vygotsky yang dapat di terapkan pada pembelajaran tematik integratif sebab peran guru disini lebih dominan sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran tematik integratif lebih menghendaki peserta didik untuk bertukar fikiran atau diskusi dengan teman sebaya maupun orang yag lebih mampu untuk berkonsultasi, hal ini sesuai dengan implikasi teori belajar konstruktivisme vygotsky yang menghendaki pembelajaran yang menempatkan pembelajaran berorientasi pada student center.

References:
Apriani, A., Wangid, M. N., & Yogyakarta, U. N. (2015). THE EFFECT OF THEMATIC-INTEGRATIVE SSP ON THE CHARACTERS OF DISCIPLINE, 3, 12–25.
Authentic, D. A. N., & Sekolah, A. (2013). The analysis of integrative thematic content, scientific approach, and authentic assessment in elementary school textbooks, 1–15.
Borchelt, N. (2007). Cognitive Computer Tools In The Teaching And Learning Of Undergraduate Calculus. International Journal For The Scholarship Of Teaching And Learning, 1(2):1-17.

Drake, S.M. (2012). Creating standards based integrated curriculum: the commom core state standards edition. California. Corwin Press A sage Publication Company.
Galloway, C. M. (2001). Vygotsky's Constructionism. In M Orey (Ed.). Emerging Perspectives On Learning, Teaching, And Technology. Georgia: College of Education University Of Georgia.

Glasersfeld, E. V. (1989). Knowing without Metaphysics: Aspect of The Radical Constructivist Position. Research and Reflexivity: Toward a Cbernetic/Social Constructivist Way of Knowing. London: Sage

Hamalik, O. (2010). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Kemdikbud. (2013). Peraturan Menteri pendidikan Nasional dan Kebudayaan RI No 67 Tahun 2013 tentang standar proses.
M. Fadlillah. (2014). Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran SD/MI, SMP/MTs, &SMA/MA. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Moll, L. C. (1990). Vygotsky and Education (Rev.ed). Cambridge: Cambridge University Press.

Ormrod, J. E. (2012). Human Learning. (6th ed.). United State of America: Pearson Education, Inc.

Santrock, J. W. (2013). Psikologi Pendidikan. (2nd ed.). (Terjemahan Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. (Edisi asli diterbitkan tahun 2004 oleh McGraw Hill Company, Inc).

Saptono. (2011). Dimensi-dimensi pendidikan karakter. Salatiga: Esensi.
Schunk, D. H. (2012). Learning Theories. (Terjemahann Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Tobin, K., Tippins, D., & Gallard, A. (1994). Handbook of Research on Science Teaching and Learning. (pp. 45-93). New York: Macmillan Publishing Company

Vygotsky, L. S. (1986). Though and Language. (Translate, revised and edited by Alex Kozulin). London: The Massachusetts Institute of Technology. (Edisi asli diterbitkan tahun 1934 oleh lembaga sosial dan ekonomi Moskow)

Wertsch, J. V. (1985). Vygotsky And The Social Formation Of Mind. Cambridge, MA: Harvard University Press
Watts & Pope. (1989). Thinking about Thinking, Learning about Learning: Constructivism in Physics Education. Physics Education,24: 326-331.
Woolfolk. A. (2009). Educational Psychologi Active Learning Edition.(10nd ed.). (Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetipto). Yogyakarta: Pustaka Belajar. (Edisi asli diterbitkan tahun 2008 oleh Pearson Education, Inc. Arlington Streen, Boston)

Wangid, M. N., Mustadi, A., Erviana, V. Y., & Arifin, S. (2014). Kesiapan guru SD dalam pelaksanaan pembelajaran tematik-integratif pada kurikulum 2013 di DIY. Jurnal Prima Edukasia, 2(2), 175–182. https://doi.org/10.21831/jpe.v2i2.2717


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS